Jakarta (Beritamu.co.id) – Virgil van Dijk tak akan pernah melupakan peristiwa satu setengah tahun silam ketika kiper Everton Jordan Pickford melanggarnya dengan brutal dalam derbi Meryerside pertengahan Oktober 2020.
Pickford lolos dari kartu merah, padahal tekel itu sembrono sekali. Sebaliknya van Dijk terkena malapetaka yang hampir mengakhiri karirnya.
Van Dijk terpaksa absen satu tahun. Dia kehilangan segalanya, mulai peluang menjuarai lagi Liga Champions dan trofi Liga Inggris, sampai membela Belanda dalam Euro 2020 yang mungkin akan membuat Belanda akan lain nasibnya jika ada van Dijk.
The Reds sendiri kehilangan kesempatan mencetak sejarah merebut trofi Liga Inggris dua kali berturut-turut, dan trofi Liga Champions yang kedua dalam tiga musim.
Keperkasaan Liverpool juga berkurang setelah van Dijk tak turut mengisi lini pertahanannya, sampai-sampai Manchester City melesat sendirian di puncak klasemen untuk menjuarai Liga Premier musim lalu.
Namun ketika ditanya wartawan saat kembali memperkuat Belanda pertengahan November tahun lalu, van Dijk enggan menjawab pertanyaan seputar kejadian yang sudah lewat itu.
Meskipun demikian bek tengah andalan Liverpool dan Belanda ini mungkin tersenyum melihat apa yang terjadi pada Pickford dan Everton sekarang.
Dua tim satu kota ini tengah berada dalam situasi yang berbeda 180 derajat.
Liverpool dalam situasi yang membuatnya di ambang membuka gerbang sukses terbesar dalam sejarahnya meraih empat piala, termasuk Liga Premier. Mereka berpotensi memangkas jarak dari Manchester City menjadi satu poin jika Kamis dini hari nanti mengalahkan Arsenal.
Sebaliknya Everton terancam masuk jurang degradasi setelah kalah empat kali berturut-turut ketika saat bersamaan Liverpool menang sembilan kali berturut-turut dalam pertandingan liga.
Dua klub yang terletak di kota Liverpool di county Merseyside di barat laut Inggris itu bagaikan dua orang yang sudah teramat dalam kesenjangannya.
Yang satu di puncak gunung, satunya lagi di kaki gunung.
Liverpool tengah bebas jauh menatap semua peluang sukses tertinggi yang bisa diraihnya, sebaliknya Everton hanya bisa was-was tertendang dari Liga Premier.
Jika sampai Everton terlempar ke Liga Championship, maka untuk pertama kalinya sejak 1951 saat liga ini belum bernama Liga Premier, mereka tak berlaga di divisi utama.
Begitu nyata
Setelah kalah 0-1 di kandang sendiri di Goodison Park dari Wolverhampton Wanderers, Minggu 13 Maret lalu, pendukung Everton tak bisa lagi berpura-pura bahwa klub kesayangannya terancam menutup tirai liga utama yang selama 71 tahun permanen mereka buka. Sejak pertama kali bergabung dengan liga utama pada 1887, Everton hanya mengalami dua kali degradasi.
Ancaman itu begitu nyata sampai suasana tribun Goodison Park dicekam oleh ketakutan dan kemarahan, begitu Wolves mengalahkan mereka.
Stadion yang dulunya angker untuk siapa pun yang mengunjunginya itu kini tak lagi terlihat seperti benteng.
Tetapi catatan tandang Everton juga tidak lebih baik. Selama musim ini, Everton kalah tujuh kali di kandang, dan sembilan kali dalam laga tandang.
Padahal setelah menjamu Newcastle, Kamis dini hari 17 Maret nanti, Everton akan menjalani dua laga tandang dan salah satunya melawan West Ham yang berkualitas di atas mereka.
Bahkan Newcastle pun bukan Newcastle yang dulu. The Magpies telah berubah menjadi tim yang sulit ditaklukkan, sampai-sampai Chelsea pun nyaris ditahan seri pada hari ketika Everton ditelan Wolves.
Baca juga: Gol semata wayang Coady tentukan kemenangan Wolves atas Everton
Manajer mereka, Frank Lampard, ternyata tak begitu mengubah nasib The Toffees. Everton sudah kalah lima kali dari enam laga pada masa kepelatihan Lampard.
Spekulasi liar pun berkembang bahwa Lampard dalam bahaya besar dipecat oleh Everton, sampai Sam Allardyce, Roy Hodgson, Ralph Hasenhuttl, dan Brendan Rodgers pun mulai disebut sebagai calon juru selamat Everton.
Everton yang kini urutan ke-17 menyimpan tiga laga lebih banyak dari Watford yang satu tingkat di bawahnya dengan sama-sama mengumpulkan 22 poin.
The Toffees juga memiliki satu pertandingan lebih banyak ketimbang Burnley yang satu tingkat di atas juru kunci Norwich City.
Namun empat kali kalah berturut-turut bisa menjadi keadaan yang mengganggu emosi pemain, apalagi yang mereka hadapi nanti adalah Newcastle dan West Ham.
Everton juga hanya bisa memetik sembilan poin dari kemungkinan total 60 poin yang bisa mereka ambil dari 20 pertandingan terakhir sejak mengalahkan Norwich pada 25 September 2021.
Oleh karena itu wajar jika tekanan semakin membesar kepada Lampard yang musim lalu dipecat Chelsea untuk digantikan Thomas Tuchel yang tengah didekati Manchester United setelah galau kepada masa depan The Blues pasca sanksi pemerintah Inggris kepada Roman Abramovich sang pemilik, gara-gara invasi Rusia di Ukraina.
Tetap positif
Tetapi pengamat sepakbola yang juga legenda Liverpool, Jamie Carragher, tak mau menyalahkan Lampard.
“Hal yang terjadi pada Everton akibat pemain-pemainnya yang memalukan,” kata Carragher seperti dikutip Sky Sports, setelah Everton menyerah 0-1 kepada Wolves.
“Mereka pernah punya Carlo Ancelotti, Rafa Benitez, Ronald Koeman, Marco Silva. Mereka sudah mencoba semua manajer. Kemungkinannya, mirip dengan situasi yang dihadapi Manchester United, tak peduli manajer yang Anda pilih, mereka tetap tak berhasil,” sambung Carragher.
Pengamat lainnya yang juga mantan pelatih dan manajer, Paul Merson, lebih pedih lagi dalam menguliti performa Everton.
Merson memandang jadwal pertandingan Everton berikutnya sebagai mengerikan yang bisa membuat The Toffees tak bisa mempertahankan eksistensinya di Liga Premier.
Tak ada pilihan, kata Merson, Everton mutlak mengalahkan Newcastle karena seri tak akan membantu mereka. Apalagi setelah beberapa hari kemudian mereka harus menghadapi peringkat keenam West Ham United.
Tapi tenang, Everton sepertinya memiliki mental bahwa mereka adalah penyewa tetap Liga Premier. 71 tahun terakhir selalu dalam liga utama, terlalu sayang diakhiri, apalagi masih ada 12 pertandingan lagi yang bisa menyelamatkan Everton dari longsor degradasi.
Setelah dikalahkan Wolves, mereka pasti telah mengalibrasi lagi kekuatannya menjadi bisa lebih baik lagi, apalagi striker andalan mereka, Dominic Calvert-Lewin, sudah kembali bermain setelah sembuh dari cedera.
Harapan kepada Calvert-Lewin demikian besar sampai laman Goodison News yang sepertinya didedikasikan untuk Everton, berteori bahwa gol sang striker adalah penentu nasib The Toffees.
“Calvert-Lewin harus membuktikan dirinya pemimpin tim ini dan kembali menemukan sentuhan golnya karena tanpa gol dari dia, kecil peluang Liga Premier dimainkan di Goodison Park musim depan,” tulis laman tersebut.
Lampard sendiri pasti tak ingin mengalami dua kali dipecat. Untuk itu legenda Chelsea ini akan sekuat tenaga menyelamatkan Everton.
“Yang penting tetap positif. Kami harus tetap kompak dan tahu pasti masih banyak pertandingan yang memberi kami poin yang dibutuhkan,” kata Lampard seperti dikutip Reuters.
Masalahnya, dari 12 pertandingan tersisa, Everton mesti melawan lima dari enam besar yang kini di papan atas klasemen liga. Kelimanya adalah West Ham United, Manchester United, Liverpool, Chelsea, dan Arsenal.
Dengan komposisi calon lawan seperti itu, tak heran media massa Inggris menyebut Everton di ambang degradasi. Oleh karena itu, sikap positif Lampard harus terimplementasikan di lapangan hijau sehingga hasil maksimal diperoleh dan semua prediksi buruk dimentahkan. Semoga.
Berita ini sudah di terbitkan oleh di (https://www.antaranews.com/berita/2762929/everton-di-ambang-tutup-tirai-71-tahun-di-liga-inggris)