Beritamu.co.id, JAKARTA – Normalisasi kebijakan moneter oleh bank sentral Amerika Serikat (AS) dinilai dapat mempengaruhi ke berbagai sektor bisnis.
Adapun bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed) memberi sinyal bahwa tahun ini bisa memulai proses pengurangan stimulus atau tapering off.
Vice President for Industry and Regional Research Office of Chief Economist (OCE) Bank Mandiri Dendi Ramdani mengatakan terdapat beberapa sektor bisnis yang berpotensi terdampak tapering off. Hal itu disebabkan oleh ketergantungan industri tersebut terhadap bahan impor.
Dampak tapering off, kata Dendi, melewati 2 jalur yang langsung berdampak pada sektor bisnis yaitu melalui impor karena potensi tekanan terhadap kurs dan potensi kenaikan suku bunga.
“Saya pikir ini perlu waspada misalnya kalau di manufaktur itu sektor tekstil, kemudian juga petrokimia. Itu kan banyak impor juga, atau bahan bakunya walaupun ada dari domestik tapi kan ikut harga dolar [AS]. Itu beberapa contoh [sektor] yang memang harus di-manage betul kebutuhan akan mata uang dolar untuk impor,” jelasnya pada acara Macroeconomic Outlook 2021 Bank Mandiri “Ekonomi Indonesia 2021-2022: Menjaga Momentum Pertumbuhan” secara virtual, Kamis (9/9/2021).
Selain itu, sektor yang berpotensi terdampak tapering off adalah sektor yang memiliki leverage atau penggunaan utang atau pinjaman yang tinggi. Dendi mencontohkan perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi berpotensi terdampak normalisasi kebijakan moneter AS.
“Jadi yang punya leverage tinggi itu harus antisipasi terhadap kenaikan suku bunga nantinya. Saya pikir mereka harus bisa mengantisipasi betul apa yang terjadi ke depan,” ujarnya.
Di sisi perekonomian secara luas, Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan jika The Fed memutuskan untuk melakukan tapering pada akhir 2021 atau 2022, maka dampaknya tidak akan sebesar yang dirasakan pada saat taper tantrum 2013.
Menurut Andry, hal itu dilihat dari inflasi 2021 yang rendah, defisit transaksi berjalan atau current accoount deficit (CAD) yang masih manageable, porsi kepemilikan asing di pasar obligasi yang lebih sedikit, dan posisi cadangan devisa yang mencapai rekor tertinggi.
Meski sejumlah indikator menunjukkan ketahanan Indonesia yang lebih baik dalam menghadapi tapering, Andry memandang bahwa Indonesia tetap perlu mengejar pemulihan ekonomi secara cepat pada 2022.
Hal ini berkaitan dengan kebijakan suku bunga acuan bank-bank sentral, khususnya The Fed, yang lambat laun pasti akan terjadi seiring dengan pemulihan ekonomi. Ketua The Fed Jerome Powell memberikan sinyal bahwa kenaikan suku bunga AS tidak akan terjadi dalam waktu dekat.
Andry mengatakan terdapat sejumlah skenario periode pemulihan ekonomi dan skenario untuk menghadapi perubahan kebijakan suku bunga bank sentral global.
Dia menyebut pada periode 2020 sampai 2022 merupakan periode bagi Indonesia untuk bertahan dari krisis pandemi Covid-19 dan masa pemulihan ekonomi. Sementara, pada 2023 sampai 2025 merupakan periode antisipasi perubahan kebijakan bank sentral global.
“Bayangan kami kalau pakai baseline skenarionya di mana The Fed baru menaikkan suku bunga di 2023, antisipasinya maka kita perlu recover di domestik ini by 2021 dan 2022. [Pada saat itu], kita sudah harus siap, karena ke depan tantangannya sudah berbeda lagi,” jelasnya.
.
. :
.
Beritamu.co.id . Follow sosial media kami
.
sumber : https://ekonomi.bisnis.com/read/20210910/9/1440556/normalisasi-moneter-as-ini-dia-sektor-bisnis-yang-berpotensi-terdampak