Beritamu.co.id, JAKARTA – Pemulihan ekonomi global pasca pandemi yang terus berlangsung, meskipun sedikit terhambat oleh munculnya Covid-19 Varian Omicron, meningkatkan permintaan akan energi dan bahan baku industri. Kondisi ini mendorong kenaikan berbagai harga komoditas global seperti batu bara, minyak sawit dan gas.
Harga batu bara sempat meloncat ke titik tertinggi dalam sejarah yaitu US$269,5 per ton pada Oktober 2021. Harga minyak (Brent) juga ikut meloncat ke titik US$85,76 per barrel pada Oktober 2021, yang merupakan harga tertinggi selama tujuh tahun terakhir.
LPEM FEB UI dalam kajiannya, Jumat (31/12/2021), melihat Indonesia sebagai penghasil dan sekaligus pengguna komoditas menghadapi dilema.
Di satu sisi, Indonesia mendapatkan ‘berkah’ dari kenaikan harga komoditas global karena dari sepuluh produk ekspor utama Indonesia, tiga diantaranya adalah komoditas sumber daya alam, yaitu komoditas batu bara dimana Indonesia merupakan eksportir batu bara terbesar di dunia, minyak sawit, dan gas alam.
Di sisi lain, kenaikan harga komoditas global ini juga memunculkan tantangan bagi industri pengolahan domestik. Kenaikan harga komoditas berakibat pada naiknya biaya input bagi industri.
Selain kenaikan harga input, LPEM FEB UI melihat persoalan lainnya adalah kelangkaan atau sulitnya mendapatkan pasokan komoditas yang dibutuhkan mengingat produsen komoditas domestik lebih memilih untuk menjualnya ke pasar internasional ketika harga sedang tinggi.
“Peranan batu bara bagi perekonomian nasional terbilang sangat krusial sebagai sumber energi dalam negeri,” tegas LPEM.
Pada tahun 2021 diprediksi kebutuhan batu bara nasional adalah sebesar 172 juta ton, terutama untuk input pembangkit listrik sebanyak 70 persen, lalu sekitar 11 persen untuk industri pengolahan dan pemurnian, 10 persen digunakan untuk industri semen, untuk industri tekstil dan kertas masing-masing 4 persen, dan 1 persen untuk industri pupuk.
Pada saat harga batu bara global meningkat maka produsen memprioritaskan pasar ekspor sehingga berbagai industri pengguna batu bara domestik mengalami kesulitan pasokan.
Gejolak harga minyak kelapa sawit/ Crude Palm Oil (CPO) juga memberikan dampak senada. Di dalam negeri, terdapat empat besar industri yang merupakan pengguna minyak kelapa sawit sebagai input, yaitu minyak goreng, oleo-chemical, sabun, dan margarine.
“Industri lain yang juga menggunakan CPO dan perannya diproyeksikan akan semakin krusial pada masa depan yaitu biofuel,” menurut catatan LPEM yang disajikan oleh Mohammad Revindo, Denny Irawan dan Cania A. Sinaga.
Peranan gas untuk industri domestic juga tidak kalah penting. Konsumsi gas domestik utamanya untuk berbagai industri pengolahan sebesar 28,22 persen, kemudian 12,45 persen untuk pabrik pupuk, kelistrikan sebanyak 12,04 persen, dan berbagai kebutuhan dalam bentuk LNG mencapai 8,91 persen.
Untuk meredam dampak fluktuasi harga komoditas dunia terhadap perekonomian nasional, pemerintah Indonesia telah menerapkan beberapa strategi. Untuk kasus batu bara, pemerintah menerapkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO).
Sistem DMO di tahun 2021 mensyaratkan bahwa untuk setiap produksi batu bara, minimal sebanyak 25% ditujukan untuk kebutuhan dalam negeri dengan harga dipatok sebesar US$70 per ton.
Pada November 2021, seiring harga batu bara yang meroket, ditetapkan bahwa harga batu bara untuk pembangkitan listrik tetap di US$70 per ton, sedangkan untuk industri pupuk dan semen di US$90 per ton.
Untuk bahan bakar minyak (BBM), menurut LPEM FEB UI, pemerintah terus menerapkan subsidi untuk jenis BBM tertentu. Hingga November 2021, realisasi subsidi energi mencapai Rp102,5 triliun, naik 15,7 persen dari periode yang sama di tahun 2020.
“Salah satu pemicu kenaikan tersebut adalah konsumsi dan harga minyak dunia yang naik di tahun 2021. Kenaikan konsumsi juga terjadi pada gas [LPG] 3 kg dan listrik golongan subsidi,” tulis LPEM.
Melihat praktik yang lumrah diterapkan di banyak negara maju, LPEM menilai terdapat beberapa strategi lain yang juga dapat diterapkan. Pertama, yaitu mempopulerkan instrumen komoditas berjangka (forward contract) untuk beragam komoditas.
“Esensi dari instrumen ini adalah antara penjual dan pembeli bersepakat untuk melakukan transaksi di suatu waktu di masa mendatang, dengan harga yang disepakati sejak awal,” papar LPEM FEB UI.
Kewajiban sisi penjual adalah melakukan pengiriman atas komoditas yang dijual pada jangka waktu yang disepakati. Secara umum, terdapat tiga fungsi dari instrumen berjangka. Pertama, yaitu sarana lindung nilai bagi penjual dan pembeli. Kedua, yaitu sebagai sarana pembentukan harga. Serta yang ketiga, yaitu instrumen investasi alternatif.
“Solusi instrumen komoditas berjangka ini adalah cara yang karena proses pembentukan harga tetap terjadi melalui mekanisme pasar dengan intervensi pemerintah yang minimum. Dengan kata lain, pasar tidak menjadi terdistorsi dari proses ini.”
Selanjutnya, kedua, LPEM FEB UI menilai pemerintah dapat mempertimbangkan membentuk cadangan komoditas nasional sebagaimana peran BULOG untuk beras. Solusi semacam ini banyak dilakukan negara besar.
Amerika Serikat (AS), misalnya, dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki cadangan minyak bumi nasional berskala masif. Seiring kenaikan harga minyak dunia yang terjadi baru-baru ini, AS bersama berbagai negara besar lainnya seperti Tiongkok, India, Jepang, Korea Selatan, dan Inggris, memutuskan untuk melepas cadangan nasionalnya untuk menjaga stabilitas harga di dalam negeri masing-masing.
“Di Indonesia, peranan semacam ini dimainkan oleh BULOG untuk menjaga stabiltias pasokan dan harga beras di pasar domestik. Ke depan, Indonesia dapat mempertimbangkan kehadiran lembaga semacam BULOG yang berperan sebagai penjaga stabilitas pasokan dan harga komoditas lainnya.”
Ketiga, perbaikan sistem DMO. Pada sistem DMO yang ada saat ini ditetapkan kuota dimana sebesar 25 persen produksi batu bara wajib digunakan untuk konsumsi dalam negeri, dengan harga US$70 per ton untuk pembangkitan listrik, dan 90 USD per ton untuk industri semen dan pupuk.
Di sisi lain, apabila harga jatuh di bawah US$70 atau US$90 per ton, maka transaksi mengikuti harga pasar. Dengan kata lain, LPEM melihat kebijakan DMO hanya berlaku satu arah sehingga kebijakan ini memiliki titik lemah dari keadilan (fairness) bagi pemasok batu bara.
“Langkah yang dapat dilakukan adalah membuat kebijakan DMO berlaku dua arah, sehingga patokan harga yang dibuat menjadi adil bagi pemasok maupun pengguna,” papar LPEM.
Persoalan kedua adalah besaran capping yaitu sebesar US$70 dan US$90 per ton. Hal ini, menurut LPEM FEB UI, membuat distorsi pasar yang terlalu tajam ketika harga naik secara signifikan jauh dari angka patokan tersebut.
“Hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi distorsi diantaranya dengan penerapan capping harga proporsional. Misalnya, dapat ditetapkan bahwa harga patokan DMO domestik adalah 35 persen di bawah harga internasional,” tulis LPEM.
Dengan demikian, nilai capping akan tetap fluktuatif mengikuti pergerakan di pasar, namun dengan tetap memberikan kemudahan bagi industri nasional yang menggunakan batu bara sebagai input.
.
. :
.
Beritamu.co.id . Follow sosial media kami
.
sumber : https://ekonomi.bisnis.com/read/20220102/9/1484335/hadapi-gejolak-harga-komoditas-di-pasar-global-lpem-feb-ui-sarankan-3-langkah-ini