Jakarta, CNBC Indonesia – Pasar modal cenderung dalam tekanan pada perdagangan Kamis (28/10/2021) dengan koreksi IHSG, pelemahan rupiah dan campur-aduknya arah obligasi. Di perdagangan penghujung pekan ini, tekanan masih belum reda.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup meninggalkan level psikologis 6.600 kemarin, terkoreksi 1,18% atau 78,1 poin ke 6.524,076. Hanya 152 saham yang menguat, sementara 381 lain melemah dan 131 sisanya stagnan.
Investor asing berbalik melakukan aksi jual di pasar reguler sehingga membukukan penjualan bersih (net selll) senilai Rp 467,6 miliar. Di seluruh pasar, net sell asing mencapai setengah triliun rupiah atau Rp 504,71 miliar. Nilai perdagangan tercatat sebesar Rp 13,5 triliun saja, dengan transaksi 1,38 juta kali yang melibatkan 21,4 miliar saham.
Koreksi IHSG terjadi berbarengan dengan ambruknya indeks bursa saham utama di Asia. Indeks Nikkei Jepang ditutup ambles 0,96%, Hang Seng Hong Kong melemah 0,28%, Shanghai Composite China ambruk 1,23%, dan KOSPI Korea Selatan terdepresiasi hingga 0,53%.
Di pasar uang, rupiah berakhir stagnan melawan dolar Amerika Serikat (AS). Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,07% ke Rp 14.180/US$ sebelum akhirnya bangkit di menit-menit akhir perdagangan dan stagnan di Rp 14.170/US$.
Mayoritas mata uang utama Asia menguat di hadapan dolar AS karena pelaku pasar global menghindari dolar AS dulu jelang rilis pertumbuhan ekonomi yang diprediksi kurang menggemberikan. Hanya yuan China, peso Filipina, dan dolar Taiwan yang melemah.
Di kurs tengah Bank Indonesia (BI) atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Mata Uang Garuda berada di level Rp 14.199/dolar AS atau melemah 0,1% dibandingkan posisi hari sebelumnya.
Pasar obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) pun cenderung beragam. SBN bertenor 1, 3, 10, dan 15 tahun cenderung dilepas oleh investor, ditandai dengan pelemahan harga dan kenaikan imbal hasil (yield).
Sisanya yakni SBN bertenor 5, 20, 25, dan 30 tahun ramai dikoleksi oleh investor, ditandai dengan penguatan harga dan penurunan yield. SBN berjatuh tempo 25 tahun menjadi yang paling besar penurunan yield-nya, yakni sebesar 2,7 basis poin (bp) ke level 7,193%.
Sebaliknya, SBN tenor 3 tahun menjadi yang paling besar penguatan yield-nya, yakni 3 bp ke 3,838%. Yield SBN dengan tenor 10 tahun yang merupakan acuan obligasi negara berbalik menguat 0,5 bp ke 6,158%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Halaman 2>>
Demikian berita mengenai Wall Street ‘Nekad’ Cetak Rekor, IHSG Bagaimana?, ikuti terus update berita dari kami
Sumber : https://www.cnbcindonesia.com/market/20211029060758-17-287408/wall-street-nekad-cetak-rekor-ihsg-bagaimana