Jakarta, BeritaMu.co.id – Dorongan untuk menjalankan bisnis yang lebih berkelanjutan mengakibatkan lonjakan permintaan akan profesional dengan keahlian lingkungan, sosial dan tata kelola (environmental, social and governance/ESG).
Lebih dari seperlima perusahaan terbesar di dunia telah membuat beberapa bentuk komitmen untuk mencapai emisi nol bersih (net zero emission) dan investor kian mempertajam fokus mereka pada dampak sosial dari perusahaan yang mereka ‘miliki’.
Pemahaman lingkungan, sosial dan tata kelola yang semakin baik menjadikan investor semakin menerapkan faktor non-keuangan tersebut sebagai bagian dari proses analisis mereka untuk mengidentifikasi risiko material dan peluang pertumbuhan.
Metrik ESG memang tidak menjadi bagian dari pelaporan keuangan wajib, meskipun semakin banyak perusahaan yang mengikuti arus ini dan mengungkapkannya dalam laporan tahunan mereka atau dalam laporan keberlanjutan yang berdiri sendiri.
Investasi ESG semakin populer dalam beberapa tahun terakhir dan dikenal juga dalam berbagai istilah seperti investasi berkelanjutan (sustainable investing), investasi yang bertanggung jawab secara sosial (socially responsible investing), dan investasi berdampak (impact investing).
Praktik ESG dapat mencakup, namun tidak terbatas pada, strategi yang dilakukan perusahaan berdasarkan komitmen yang mereka nyatakan terhadap satu atau lebih faktor ESG-misalnya, perusahaan dengan kebijakan yang ditujukan untuk meminimalkan dampak negatifnya terhadap lingkungan atau perusahaan yang berfokus pada prinsip-prinsip tata kelola dan transparansi.
Sebagian praktik ESG termasuk penyaringan perusahaan dari sektor-sektor tertentu atau yang menurut pandangan pengelola dana (fund manager) telah menunjukkan kinerja yang buruk sehubungan dengan pengelolaan risiko dan peluang ESG.
Selain itu, beberapa manajer dana (fund manager) mungkin berfokus pada perusahaan yang mereka pandang memiliki ruang untuk perbaikan dalam hal-hal ESG, dengan maksud untuk membantu perusahaan tersebut berkembang melalui keterlibatan aktif dengan perusahaan.
Menurut Sarah Galloway, salah satu pemimpin perusahaan perekrut Russell Reynolds Associates, menilai saat ini praktik ESG tidak dapat dipandang sebelah mata lagi.
Selain perusahaan global yang sudah sadar permintaan akan ahli ESG meningkat pesat di seluruh layanan profesional, termasuk di konsultan manajemen, firma penasihat, dan perusahaan properti.
Peningkatan permintaan tersebut sejalan dengan semakin banyak perusahaan dan pengelola dana berkomitmen untuk mengurangi jejak karbon mereka dan lebih menekankan pada kinerja non-keuangan.
AstraZeneca, Aviva, BT, Legal & General dan Rolls-Royce adalah beberapa perusahaan yang telah berjanji untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050.
“Private equity telah menyadari bahwa Anda tidak dapat melakukan IPO sebuah bisnis kecuali memiliki praktik keberlanjutan atau ESG yang sangat kuat sehingga mereka semua mempekerjakan kepala ESG atau keberlanjutan di tingkat yang sangat senior. . . untuk mengawasi portofolio mereka,” kata Sarah Galloway, dilansir FT.
Salah satu contoh utama adalah penawaran umum saham perdana (inital public offering/IPO) Deliveroo, perusahaan pengiriman makanan online Inggris, pada akhir Maret lalu yang terkena dampak secara signifikan karena sejumlah besar manajer aset Inggris mengatakan bahwa mereka tidak akan berinvestasi dalam IPO karena risiko ESG serta harga.
Kegagalan Deliveroo -saham perusahaan sempat ambles hingga 26% pada hari pertama IPO- semata-mata terjadi karena huruf ‘S’ dari ESG. Beberapa investor besar telah menyatakan keprihatinan atas perlakuan grup usaha terhadap para pekerja.
NEXT: Kenapa Investor Memilih Saham ESG?
Demikian berita mengenai Saham-saham ‘Go Green’ Makin Banyak Peminat, Tertarik Borong?, ikuti terus update berita dari kami
Sumber : https://www.cnbcindonesia.com/market/20211019112758-17-284948/saham-saham-go-green-makin-banyak-peminat-tertarik-borong