
Beritamu.co.id – Industri metanol merupakan salah satu sektor prioritas yang sangat dibutuhkan untuk pengembangan industri di hilirnya.
Dengan kebutuhan metanol mencapai 1,2 juta ton pada 2020, pembangunan industri gasifikasi coal to methanol diharapkan dapat berkontribusi pada substitusi impor dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Sebab itulah, Menteri Perindustrian (Menperin), Agus Gumiwang Kartasasmita mendorong pendirian industri pionir coal to methanol untuk mendukung hilirisasi batu bara di Tanah Air.
Menurutnya, kerja sama pembangunan pabrik coal to methanol sangat penting bagi sektor industri.
“Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sangat mengapresiasi perusahaan yang memiliki satu visi untuk menginisiasi proyek gasifikasi batu bara dan mendukung rencana investasi industri pionir ini,” kata Menperin saat Penandatanganan Perjanjian Kerjasama Pembuatan Feasibility Study Proyek Coal to Methanol antara PT Powerindo Cipta Energy dan China National Chemical Engineering Corporation di Kementerian Perindustrian, Senin (18/10).
Investasi proyek gasifikasi batu bara tersebut diprakarsai oleh konsorsium yang terdiri dari PT Powerindo Energi (PT PCE) dari Indonesia dan China National Chemical Engineering Corporation (CNCEC) dari Tiongkok.
Pabrik ini rencananya akan didirikan di Meulaboh, Aceh, dengan lokasi di mulut tambang pemasok batu bara dengan nilai investasi mencapai USD 560 juta, yang akan mengolah 1,1 juta ton batu bara menjadi 600 ribu ton metanol per tahun.
“Proyek ini akan menyerap tenaga kerja sebanyak 600-700 orang. Berdasarkan perencanaan, proyek akan memasuki tahap konstruksi pada pertengahan tahun 2022,” kata Menperin.
MoU hari ini memiliki kontribusi yang penting dalam upaya membangun hilirisasi industri.
Penguatan hilirisasi industri setidaknya memberi lima manfaat besar bagi perekonomian.
Pertama, memperkuat daya saing produk hasil hilirisasi yang dapat meningkatkan ekspor, menjadi bagian dari supply chain global, serta mendorong subtitusi impor.
Kedua, meningkatkan penciptaan lapangan kerja.
Ketiga, sebagai bagian dari upaya memperkuat nilai tambah industri di dalam negeri, yang akan memperbesar kontribusi bagi perekonomian.
Keempat, hilirisasi akan mengakselerasi transfer teknologi di Indonesia.
“Selanjutnya, hilirisasi dapat meningkatkan subtitusi impor yang akan menekan defisit neraca perdagangan,” ujar Menperin.
Adapun pada tahun 2020, nilai ekspor bahan kimia dan barang dari bahan kimia mencapai USD 11,85 miliar, sedangkan nilai impornya mencapai USD 18,25 miliar. Dengan demikian, ada defisit sebesar USD 6,4 miliar.
Karena itu, kata Menperin, perlu upaya untuk mempercepat peningkatan investasi di sektor kimia.
Asal tahu saja, industri kimia, termasuk di dalamnya industri metanol, merupakan salah satu sektor prioritas dalam peta Jalan Making Indonesia 4.0, sehingga Kemenperin secara serius berupaya memperkokoh struktur industri ini.
Di sisi lain, industri metanol menempati posisi penting di industri hilir karena merupakan bahan baku/bahan penolong pada industri tekstil, plastik, resin sintetis, farmasi, insektisida, plywood dan industri lainnya.
Metanol juga digunakan sebagai bahan campuran untuk pembuatan biodiesel. Selain itu, juga bisa diolah lebih lanjut menjadi DME yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar.
Dengan berkembangnya industri hilir pengguna metanol, nilai substitusi impor dari metanol akan semakin besar. Sebagai contoh, pada industri resin sintetik yang merupakan bahan baku/bahan penolong pada industri seperti cat, tekstil, adhesive, maupun thinner. Sebagian kebutuhan resin sintetik di dalam negeri diperoleh dari impor. Impor resin sintetik pada tahun 2020 mencapai 700 ribu ton dengan nilai sebesar USD 1,5 miliar.
https://pasardana.id/news/2021/10/19/menperin-dorong-rencana-investasi-industri-methanol/