Jakarta, BeritaMu.co.id – Investor institusi dalam negeri dinilai masih sulit berkembang, padahal keberadaan investor ini sangat dibutuhkan untuk pengembangan pasar modal Indonesia.
Terlebih dalam beberapa waktu belakangan karena pandemi, investor institusi malah ‘seret’ untuk kembali masuk ke pasar keuangan, terutama saham.
Presiden Direktur PT Schroder Investment Management Indonesia (Schroders), Michael Tjandra Tjoa mengatakan penempatan dana dari investor institusi, terutama dana pensiun (dapen) bisa dibilang kurang berkembang sejak 2014.
Hal ini tercermin dari nilai investasi dana pensiun di saham senilai Rp 28 triliun saat itu, sedangkan pada 2020 hanya senilai Rp 32 triliun.
“Belakangan ini banyak investor institusi, satu, akibat dari ekspektasi capital market, ekspektasi pasar kurang menguntungkan akibat pandemi. Maka kita liat institusi investor berhenti melakukan investasi, stop, tidak ada yang menambah jumlah portofolioya ke capital market,” kata Michael dalam Capital Market Summit & Expo 2021, Jumat (15/10/2021).
“Itu juga dicerminkan statistik jumlah investor reksa dana di 2014 maupun pasar saham dari dapen itu tidak berkembang dengan signifikan. Di 2014 investasi di saham dari dapen itu hanya Rp 28 triliun dan pada 2020 akhir hanya Rp 32 triliun, dan itu mungkin lebih banyak disebabkan. market movement,” lanjutnya.
Michael menyoroti sejumlah kendala sulit bertambahnya investasi yang ditanamkan oleh investor institusi, khususnya institusi yang dimiliki oleh BUMN dan pemerintah.
Pertama adalah kakunya regulasi yang ditetapkan, terlebih lagi adanya konsekuensi keuangan hingga hukum yang ditetapkan terhadap para pengelola dana ini, khususnya dana pensiun.
Aturan ini dinilai membuat penempatan investasi oleh dapen BUMN atau lembaga milik pemerintah menjadi kurang berkembang dan tidak fleksibel.
“Bagi saya yang melihat bahwa aturan regulasi yang ada harus diperbaharui untuk menjadi lebih up to date dengan keadaan sekarang sehingga para pengelola Dapen BUMN atau penyertaan pemerintah lebih fleksibel. Mereka memang investasi bisa untung bisa rugi, bisa rugi ya realized atau unrealized. Mudah-mudahan tidak seperti di aturan lama yang selalu dipertanyakan dan dipermasalahkan,” papar dia.
Kedua, kurangnya jumlah perusahaan terbuka (emiten) dengan kapitalisasi pasar besar.
Menurut Michael, memang saat ini jumlah perusahaan terbuka di Bursa Efek Indonesia (BEI) terus bertambah, bahkan dalam dua tahun terakhir penambahannya terbilang tinggi kendati dalam kondisi market saat ini.
Namun, sayangnya kebanyakan perusahaan-perusahaan ini tidak atraktif bagi investor institusi yang memiliki dana kelolaan besar. Sebab, ukuran sebuah perusahaan akan menentukan likuiditas transaksi sahamnya, dan ini menjadi salah satu tolak ukur bagi investor institusi untuk berinvestasi.
Ketiga, keleluasaan bagi investor institusi milik BUMN atau pemerintah untuk bisa menginvestasikan dananya di sesuai dengan tren pasar.
Dia menjelaskan, di tahun ini satu penawaran umum saham besar adalah PT Bukalapak.com, dari sisi ukuran dinilai sesuai dengan kriteria investor institusi.
Namun, sayangnya bagi investor institusi milik BUMN dan pemerintah terdapat ganjalan tak bisa berinvestasi di perusahaan rugi. Padahal, saat ini perusahaan yang berpotensi memberikan sized besar, mayoritas adalah perusahaan teknologi yang masih mencatatkan ‘buku merah’.
Dengan demikian, jika aturan ini tidak disesuaikan, investor-investor ini berkemungkinan tidak bisa mengikuti tren pasar. Terlebih di tahun depan ada ekspektasi akan adanya penawaran umum saham dari perusahaan teknologi yang lebih besar lagi.
“Tapi kalau masih merugi dan ada beberapa aturan yang batasi investor institusional untuk melakukan investasi itu menjadi suatu faktor yang merugikan bagi investor institusi dalam negeri untuk bisa investasi,” terangnya.
“Saya tahu tidak semua dapen or financial institution untuk boleh melakukan investasi di perusahaan rugi, bisa ada jumlah tertentu. Tapi ini menjadi satu concern karena pengawas maupun pendiri kenapa investasi ke tempat rugi, why dan bagaimana aturan dan ini jadi challenge.”
Namun demikian, lanjutnya, pengelolaan dana yang baik juga menjadi kriteria lainnya yang haru dipenuhi oleh investor institusi. Meski sudah diberikan kesempatan untuk lebih fleksibel, namun kepercayaan nasabah juga menjadi tolak ukur tersendiri.
“Hal lain yang kita lihat dan perhatikan institutional investor seperti para fund manager ini harus kembali melihat juga menjadi kritik internal bahwa institusi juga harus melihat bagaimana mereka bergerak dan investasi demi kepentingan investor bukan demi kepentingan mereka sendiri,” ungkap dia.
Terlebih lagi, dalam beberapa waktu terakhir, kepercayaan investor individu menjadi turun akibat adanya beberapa kasus yang melibatkan investor institusi institusi hingga broker.
“Ini harus diperbaiki, diberikan arahan dan tentu harus diawasi lebih baik dengan pengawasan lebih baik diarahkan sebelum kejadian membesar jadi bisa di-handle. Jadi kepercayaan bagi mereka tidak berkurang,” tandasnya.
[]
(…)
Demikian berita mengenai Bos Schroders Sebut Gegara Ini Institusi Ogah Borong Saham, ikuti terus update berita dari kami
Sumber : https://www.cnbcindonesia.com/market/20211015171553-17-284292/bos-schroders-sebut-gegara-ini-institusi-ogah-borong-saham