Beritamu.co.id, JAKARTA – Jika dulu ada keraguan akan kebutuhan terhadap pentingnya pemimpin tangkas (agile) untuk menghadapi ketidakpastian dan keambiguan dalam dunia usaha, kini pandemi telah memperjelas kebutuhan tersebut.
Profesor dari Columbia University Adam Tooze mengatakan “This is a period of radical uncertainty, an order of magnitude greater than anything we’re used to.” Pemimpin yang tangkas tidak akan mampu bekerja sendiri, sehingga keberadaan budaya perusahaan (corporate culture) yang sejalan dengan strategi korporasi menjadi sangat penting.
Edgar Schein, profesor dari Massachusetts Institute of Technology, mengatakan “culture is a property of an independently defined social unit, a unit whose members share a significant number of common experiences in successfully addressing external and internal problem.”
Alhasil, lambat laun kumpulan orang-orang yang saling berbagi pengalaman tadi akan membentuk pandangan bersama dalam menghadapi pekerjaan sekaligus dalam memecahkan masalah secara efektif. Kesamaan pandangan tadi akan membentuk asumsi dan kepercayaan (belief) dasar yang berlangsung terus menerus dan akhirnya menjadi kebiasaan.
Seorang pemimpin tidak dapat hadir di setiap rapat dan tidak akan mampu mengambil setiap keputusan di dalam perusahaan, sehingga nilai bersama (shared value) dapat mengawal jalannya perusahaan dari top management hingga pekerja dasar.
Oleh karena itu, peran budaya perusahaan menjadi sangat penting dalam menjaga kinerja korporasi. Dalam era ketidakpastian ini budaya perusahaan perlu direspons dengan penyesuaian agar tetap aktual dalam menjawab berbagai tantangan.
Steve Kaufman, profesor dari Harvard Business School, mengatakan “Culture eats strategy for breakfast every day”. Di era pandemi Covid-19, perusahaan-perusahaan kerap terkesan berlomba hanya fokus kepada transformasi digital yang relatif lebih mudah, karena teknologi dapat dibeli.
Padahal akan muncul masalah baru ketika pekerjanya tidak dapat mengikuti perkembangan digitalisasi. Di sinilah peran transformasi culture untuk mendorong para pekerja menutup kesenjangan antara kemajuan teknologi dan kapabilitasnya.
Dalam kaitan itu, penulis ingin lebih fokus mengulas aspek continuous learning culture. Tentunya perkembangan teknologi dan informasi yang berjalan secara eksponensial dan perubahan perilaku konsumen serta perubahan radikal yang terjadi akibat pandemi perlu disikapi dengan perilaku individu yang mau terus belajar. Paling tidak ada tiga inisiatif yang perlu disiapkan perusahaan dalam membangun budaya belajar yang berkelanjutan.
Pertama, personalized learning. Terinspirasi dari quote seorang CEO BRI, Sunarso, yang mengatakan setiap individu harus mampu merancang dan merencanakan suksesnya sendiri, perusahaan menyediakan lapangan untuk berkompetisi dalam bentuk mekanisme dan sistem. Ini merupakan pernyataan yang kuat dalam membangun human capital yang solid.
Bayangkan jika ini masif dilakukan oleh setiap individu di perusahaan. Kinerja cemerlang bukan hal yang mustahil. Alhasil, personalized learning merupakan suatu inisiatif yang memberi kesempatan setiap individu dengan karakteristik, preferensi dan aspirasinya masing-masing mendapatkan pilihan pendidikan dan pengembangan yang sesuai.
Selama ini perusahaan cenderung mendorong pekerjanya mengikuti pelatihan, padahal ke depan inisiasi itu harus muncul dari individu pekerja. Perusahaan harus menyiapkan ekosistem on demand bagi pekerjanya. Tentunya, on demand learning program mengadopsi personalisasi dari setiap individu. Ini merupakan transformasi dari push learning menjadi strategi pull learning.
Kedua, learning in the flow of work. Rutinitas pekerjaan kerap membuat pekerja sibuk dengan aktivitas yang monoton, sehingga lupa untuk mengembangkan kemampuannya. Oleh sebab itu, ke depan dibutuhkan suatu mekanisme learning program yang terkoneksi dengan apa yang sedang dikerjakannya.
Efektifitas pembelajaran 70:20:10 seperti dikemukakan Michael Lombardo dan Robert Eichinger perlu menjadi perhatian di mana pendidikan dihadirkan dalam bentuk 70% berupa experiential learning, 20% berwujud learning from others dan 10% berbentuk formal learning.
Keterbatasan waktu yang kerap menjadi hambatan pekerja untuk mengembangkan dirinya harus dijawab dengan program learning yang didominasi pengalaman bekerja dalam belajar yang memang menyatu dengan kegiatan kesehariannya.
Kehadiran mentor dalam belajar juga menjadi suatu kebutuhan agar seluruh proses menjadi lebih efektif. Selain itu, kemudahan akses dan konten pembelajaran yang menarik perlu disiapkan.
Ketiga, exploitation to exploration. Membangun budaya belajar yang berkelanjutan membutuhkan pilihan pembelajaran yang banyak dan tidak saja mengeksploitasi subject matter expert dari internal perusahaan.
Pertumbuhan informasi yang berjalan eksponensial perlu direspons dengan merangkul ekosistem pendidikan di luar organisasi. Lebih dari itu, berbagai kompetensi masa depan menjadi sangat penting untuk diadopsi dari beragam sumber.
Transformasi digital tidak dapat berjalan sendiri tetapi harus diikuti dengan transformasi culture yang sesuai dengan strategi perusahaan. Jadi, peran pendidikan dalam perusahaan berperan sangat penting untuk menyiapkan para pekerjanya memiliki budaya belajar berkelanjutan sebagai sebuah daya saing tersendiri agar mampu terus eksis di tengah tantangan ketidakpastian dan ambiguitas.
.
. :
.
Beritamu.co.id . Follow sosial media kami
.
sumber : https://ekonomi.bisnis.com/read/20210921/9/1444834/opini-mengenal-budaya-belajar-korporasi