Beritamu.co.id, JAKARTA – Dampak dari kebijakan penarikan stimulus moneter atau tapering oleh the Fed, bank sentral di Amerika Serikat (AS), diperkirakan tidak akan separah taper tantrum pada 2013.
Pakar kebijakan ekonomi Achmad Nur Hidayat mengatakan, meski tidak separah 2013, risiko dari tapering di masa pandemi Covid-19 ini tetap perlu diwaspadai.
Dia menjelaskan, saat taper tantrum 2013, pembalikan modal atau capital outflow terjadi secara besar-besaran, rupiah yang sempat berada di bawah level Rp10.000 per dolar AS anjlok hingga ke level Rp12.000 per dolar AS.
Rupiah terus melemah hingga menyentuh Rp14.690 per dolar AS pada puncak tapering off the Fed, yaitu pada September 2015.
Saat itu, rupiah kembali menguat karena sentimen perang dagang pada 2019, namun penguatan ini terjadi tidak lama karena pandemi 2020 melanda dunia.
Takdir pasar saham pun tak jauh lebih baik dari rupiah. Indeks harga saham gabungan (IHSG) yang sebelumnya tercatat berada di level 5.200 jatuh ke level 4.200 di akhir 2013.
“Kementerian Keuangan mencatat, arus modal yang keluar dari Indonesia saat periode taper tantrum mencapai Rp36 triliun,” katanya dalam keterangan resmi, Senin (30/8/2021).
Dia menilai, kondisi Indonesia pada 2021 berbeda dari 2013. Kondisi ekonomi Indonesia dalam indikator moneter dan indikator risiko pada 2021 masih lebih baik daripada 2013.
Hal ini tercermin dari cadangan devisa Indonesia yang jauh lebih kuat, yaitu tercatat mencapai US$137,30 miliar pada Juli 2021, dibandingkan dengan US$99,38 miliar pada Juli 2013. Suku bunga acuan Bank Indonesia juga lebih rendah di level 3,5 persen di 2021 dibandingkan 7,5 persen di 2013.
Indikator risiko juga lebih baik di 2021 daripada 2013, misalnya porsi asing di SBN jauh berkurang di level 22,82 persen pada Juni 2021 dibandingkan dengan 32,54 persen di Juni 2013.
Meski demikian, menurutnya, perlu diwaspadai pertumbuhan ekonomi pada 2021 yang diprediksi mencapai level 4,5 persen, jauh lebih kecil dibandingkan pertumbuhan 2013 di level 5,78 persen.
“Meski efek taper tantrum Fed 2021 tidak separah 2013, ekonomi Indonesia tetap memiliki kerentanan ekonomi,” jelasnya.
Dia mengatakan, kerentanan ekonomi tersebut cukup fundamental karena terdapat pada besarnya defisit fiskal, tingginya rasio utang pemerintah terhadap PDB, serta utang swasta dan total utang dalam triliun rupiah yang melonjak di 2021 dibandingkan 2013.
Total utang nasional, baik swasta maupun pemerintah, teractat mencapai Rp6.554 triliun di Juni 2021, lebih besar dibandingkan dengan Rp2.375 triliun pada Juni 2013.
Achmad mengatakan, kerentanan tersebut harus dapat diantisipasi dengan melakukan debt management terhadap SBN,utang swasta dan utang BUMN dengan lebih baik.
Adapun, Bank Indonesia melalui SKB III dengan skema Burden Sharing 2021-2022 telah menjadi standby buyer, baik di pasar primer maupun di pasar sekunder. Dia menilai, hal ini dapat meminimalisir risiko peningkatan imbal hasil atau yield SBN.
“Dengan intervensi BI tersebut, semoga dampak tapering off 2021/2022 terhadap depresiasi rupiah masih dalam batas fundamentalnya yang wajar,” ujarnya.
.
. :
.
Beritamu.co.id . Follow sosial media kami
.
sumber : https://ekonomi.bisnis.com/read/20210830/9/1435495/utang-ri-menggunung-hati-hati-risiko-tapering-the-fed