Omicron masuk Indonesia? Tenang saja. Virus Covid-19 strain baru yang banyak disebut namanya selama sebulan terakhir ini, “secara resmi” diumumkan sudah ada di Indonesia.
Kemarin (16/12), Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengumumkan kasus pertama Omicron di Indonesia. Satu petugas Wisma Atlet Kemayoran berinisial N kedapatan mengidap Covid-19 varian Omicron itu.
Pasien N dinyatakan positif setelah pemeriksaan rutin pada 8 Desember lalu. Si pasien memang tidak bergejala. Istilah medisnya, gejala yang diderita si pasien hanya mild. Jenis virus Covid-19 yang nebeng di tubuh si N ini adalah varian Omicron. Lalu pada 10 Desember, saat dites lagi, pasien N tersebut sudah negatif.
Saya memang sengaja memberi tanda kutip khusus, “secara resmi”. Pasalnya, sejak si Omicron ramai menjadi bahan perbincangan sejak pertama kali terdeteksi di Afrika Selatan, saya percaya di luar sana pasti sudah ada orang Indonesia yang mengidapnya. Karena tidak dites saja, jadinya seolah-olah virus itu belum ada.
Logikanya mirip dengan jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia, yang secara resmi dilaporkan sekitar 4 juta orang. Namun, coba saja dites semua, bisa jadi kasus Covid-19 di Indonesia mencapai puluhan juta.
Namun, ini justru menjadi blessing tersendiri. Banyak orang di kampung yang mengalami gejala Covid-19, tetapi ngumpet di rumah saja. Ada yang bilang hanya terkena flu cikungunya. Beruntungnya, diobati sendiri dan sembuh pula. Belum lagi yang sebenarnya terpapar, tetapi tidak bergejala alias OTG.
Maka, ditambah dengan vaksinasi yang sudah melewati angka 100 juta suntikan lengkap selama setahun terakhir, mestinya Indonesia sudah relatif tenang dan aman dari risiko yang fatal.
Bahkan saya mendapatkan ‘bocoran’ dari Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, bahwa di 10 kota besar aglomerasi yang sudah disurvei, tingkat serologi masyarakat sudah mencapai 88% hingga 90%.
Saya tidak berpretensi sebagai ahli epidemiologi. Namun, pakai common sense saja, bila survei itu benar, boleh jadi menggambarkan kombinasi dari hasil vaksinasi dan “vaksin alamiah” karena pernah terpapar virus Covid, disadari atau tidak disadari. Atau malah kombinasinya, yakni pernah sakit dan sudah divaksin. Bila sudah pernah dua kali vaksin lalu masih sakit, artinya sama saja dengan mendapatkan suntikan “booster alami”.
Bila itu yang terjadi, artinya tingkat risiko yang dihadapi Indonesia terhadap masuknya Omicron, tak perlu terlalu dicemaskan. Apalagi, mengutip berbagai laporan dan sekuen peristiwa sejak si Omicron itu dilaporkan muncul di Afrika Selatan November lalu. Lonjakan kasus Omicron di Afsel tidak serta-merta diikuti lonjakan angka kematian di sana. Bahkan, yang positif umumnya tidak memerlukan perawatan rumah sakit, dan sembuh hanya dalam 5 hari.
Sejauh ini, WHO sendiri menyebutkan si Omicron relatif tidak berbahaya, meski masih terus dilakukan penelitian. Tingkat fatalitasnya tidak sejahat varian Delta yang mengamuk sejak Februari tahun ini. Varian Delta dimulai dari India, lalu bergiliran masuk Indonesia, kemudian jalan-jalan ke Singapura, Malaysia, negara-negara Asia lainnya, dan belakangan ke Belanda dan Jerman dan negara-negara Eropa.
Kala kejadian pertama varian Delta di India, media sosial heboh lantaran banyak pihak yang menyebarkan video dan gambar-gambar pasien tidak tertangani dan kesakitan di luar rumah sakit. Saat Delta menyebar ke Indonesia, heboh yang terjadi serupa dan sama. Tentu beda dengan hari ini, saat Omicron menginvasi. Kalem-kalem saja.
***
Tiga bulan terakhir ini, sejak akhir September, situasi ekonomi benar-benar seperti euforia. Di Jakarta, hampir tiap hari jalanan sudah macet kembali. Di Yogyakarta, hotel-hotel penuh. Di Solo begitu rupa. Bila saya tanya ke manajemen hotel yang kebetulan bersua, mereka umumnya mengaku tingkat hunian di atas 75%. Sudah menyamai bahkan melebihi sebelum pandemi. Hari-hari ini Anda akan kesulitan pesan kamar hotel berbintang di akhir pekan di Solo dan di Jogja.
Saya bahkan dapat cerita dari Arsyadjuliandi Rachman, mantan Gubernur Riau, yang kini Anggota DPR dari Partai Golkar. Andi Rachman, begitu biasa dia disapa, pekan lalu pergi ke Solo bersama istri dan keluarga, mengendarai mobil melalui tol Trans-Jawa.
Saat Minggu siang (12/12) meninggalkan Solo kembali ke Jakarta, Andi bercerita, di rest-rest area jalan tol penuh dengan mobil antre untuk istirahat. Bahkan saat memasuki Cikampek, jalan tol padat merayap. Alhasil, Solo-Jakarta yang seharusnya dapat ditempuh dalam waktu 6-7 jam–saya malah biasanya bisa 5 jam bila mengejar urusan–ditempuhnya lebih dari 10 jam. Artinya, macet luar biasa.
Saya mengalami sendiri, jalan Solo-Jogja belakangan ini tambah macet. Jalanan dalam kota Jogja juga kerap macet, begitu pula di dalam Kota Solo. Apalagi pada akhir pekan. Ini karena banyak kendaraan dari luar Solo yang liburan ke Solo, atau Jogjakarta.
Itu semua menunjukkan bahwa tingkat mobilitas masyarakat sudah kembali meningkat. Bahkan melebihi situasi sebelum pandemi, karena ada efek “balas dendam”, setelah lebih dari setahun “terkurung” oleh pembatasan mobilitas sebagai konsekuensi kebijakan mengatasi pandemi.
Secara makro, gambaran besarnya juga terlihat dari pertumbuhan ekonomi kuartalan yang terus membaik, hingga mencapai 3,51% pada kuartal ketiga tahun ini. Padahal, kondisi kuartal ketiga itu sebenarnya masih diselimuti PPKM level ketat. Baru longgar sebenarnya sejak September hingga hari ini. Bisa jadi, pada kuartal keempat ini pertumbuhan ekonomi terjadi lonjakan. Ini juga tercermin dari penjualan bahan bakar di Pertamina serta konsumsi listrik yang menanjak naik.
***
Kemarin, setelah pengumuman kasus pertama Omicron oleh Menteri Kesehatan, Presiden Jokowi langsung membuat pesan video yang sekejap viral di banyak aplikasi percakapan. Waspada penting, tapi jangan membuat panik. Yang belum vaksin, segeralah vaksin. Begitu kira-kira pesan yang disampaikan Presiden.
Tentu kita sepakat dengan pesan kunci yang disampaikan Presiden Jokowi itu. Enggak perlu panik. Yang penting tetap disiplin pada protokol kesehatan, pakai masker, tetap jaga jarak dan tidak berkerumun di tempat-tempat publik.
Saya mencoba common sense saja. Dari 2 tahun pandemi Covid-19 ini, kita sudah banyak belajar. Ilmu leluhur kita yang paling tradisional, niteni, akhirnya dapat diterapkan dalam situasi ini. Coba perhatikan saja. Maret 2020, saat pandemi Covid-19 baru pertama diumumkan, semua orang panik. Kecemasan dan ketakutan lebih mendominasi. Kebijakan pemerintah juga belum duduk dalam pola yang jelas. Semua masih dalam proses belajar. Akibatnya, dampak pandemi bagi ekonomi tahun lalu begitu dalam.
Namun, tahun ini rupanya pemerintah dan masyarakat sudah banyak belajar. Bahkan saat muncul varian Delta ‘kiriman’ dari India pada akhir Mei lalu, pemerintah justru mendapatkan formula kebijakan pengendalian pandemi yang pas dan relevan. Sempat menjalankan PPKM Darurat, tetapi tak sampai 2 minggu kemudian berlaku kebijakan standar: PPKM Level 1-4. Basisnya adalah data. Mulai dari jumlah tambahan kasus harian, jumlah kematian, keterisian rumah sakit, hingga tingkat vaksinasi. Semua ditaruh di atas meja. Bila kombinasi data tersebut menunjukkan indikator paling berisiko, maka diterapkan PPKM Level 4. Sebaliknya bila risiko paling rendah, ditentukan sebagai PPKM Level 1. Konsekuensinya pada pembatasan mobilitas dan kerumunan. Ada daftar yang jelas dan transparan, apa saja yang boleh dan tidak boleh (do’s and dont’s) pada level 4, begitu pula pada Level 1. Karenanya pemerintah lokal mudah menerapkan, dan masyarakat mudah memahami dan menjalankan.
Hasilnya, dalam waktu 4 bulan varian Delta berhasil ditaklukkan. Indonesia menjadi salah satu negara terbaik, bahkan dinyatakan sebagai Level 1 oleh WHO. Banyak negara lain kaget-kaget dan terheran-heran.
Saya percaya, akhirnya kita semua sudah bisa niteni. Karenanya tidak lagi takut dan panik, tetapi tetap berhati-hati dan disiplin protokol kesehatan untuk menjaga diri. Tetap mengendalikan diri untuk tidak euforia pada musim liburan akhir tahun, Natal dan Tahun Baru.
Lebih baik kembali mengekang dan menahan diri selama setidaknya 10 hari untuk tidak berkerumun, agar si Omicron tidak menyebar ke kelompok masyarakat yang masih rentan, apalagi yang belum divaksin.
Bila Indonesia berhasil mengatasi risiko Omicron ini, dan tidak muncul ledakan kasus lagi pada periode akhir Januari-Februari, kita bisa lebih optimistis. Pandemi ini benar-benar terkendali. Saatnya bersiap-siap hijrah ke endemi, menghadapi virus corona layaknya flu biasa.
Tahapan itu akan menjadi ujian bangsa ini. Bila benar-benar berhasil, perekonomian pasti akan lari lebih kencang lagi. Jadi, jangan sampai ketinggalan kereta, kendati tetaplah waspada, agar bisa mendapatkan momentum pemulihan ekonomi lebih cepat, dari negara-negara tetangga kita yang lain.
Nah, bagaimana menurut Anda? (*)
.
. :
.
Beritamu.co.id . Follow sosial media kami
.
sumber : https://ekonomi.bisnis.com/read/20211217/9/1478740/ngobrol-ekonomi-waspada-penting-panik-jangan
Beritamu.co.id – Menteri Perdagangan (Mendag), Budi Santoso melakukan pertemuan bilateral dengan Menteri Keberlanjutan dan…
Beritamu.co.id – Sebagai upaya meningkatkan pertumbuhan investor saham syariah serta memberikan apresiasi kepada stakeholders…
Beritamu.co.id - Data perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama sepekan perdagangan pada…
Beritamu.co.id – Satuan Tugas (Satgas) Penurunan Harga Tiket Pesawat yang terdiri dari Kementerian Koordinator…
Beritamu.co.id – Gerakan pelestarian lingkungan kini semakin masif digalakkan oleh seluruh sektor industri, tak…
Beritamu.co.id - PT Bukit Teknologi Digital (BTech), anak perusahaan dan lini penelitian dan pengembangan…