Beritamu.co.id, JAKARTA – Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III/2021 diperkirakan berkisar antara 4-5 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Hal itu disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada konferensi pers APBN KiTa, Kamis (24/9/2021).
Menurut Sri Mulyani, optimisme ini dipicu oleh peningkatan geliat ekonomi menyusul kinerja PPKM yang dinilai efektif meredam penyebaran virus varian Delta yang merebak di pertengahan 2021 lalu. Dengan menurunnya kasus Covid-19, pelonggaran pembatasan turut memicu pemulihan dari konsumsi maupun produksi.
Meskipun demikian, patut diakui, jika ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4-5 persen pada kuartal III/2021, ini adalah suatu perlambatan. Selain itu, optimisme pertumbuhan ini menyeruak di tengah ancaman gejolak eksternal, yakni tapering The Fed dan default Evergrande.
Adapun, sejumlah pengamat dan ekonom menilai bahwa proyeksi bendahara negara tersebut akan cukup mudah untuk terealisasi, meskipun terdapat pembatasan mobilitas yang ketat akibat penyebaran varian Delta pada Juli 2021 yang lalu.
Menurut Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bisa mencapai 4 persen (yoy) pada kuartal III/2021. Sebab, hal itu tidak terlepas dari basis pertumbuhan tahunan yang rendah pada kuartal III/2020 sebesar -3,49 persen (yoy).
“Kalau kuartal III [2021], masih bisa kelihatannya ke sekitar 4 persen, karena memang kita bandingkan dengan kondisi tahun lalu yang sangat jelek sekali. Kemarin [kuartal II/2021] bisa 7 persen itu bukan karena memang bagus, tapi karena 2020-nya jelek sekali. Basenya itu yang tidak bagus, bahkan jelek. Jadi kalau 4 persen [di kuartal III/2021] ini akan terlewati,” kata Yose kepada Bisnis, Kamis (23/9/2021).
Bahkan dengan adanya risiko dari eksternal khususnya dari Amerika Serikat (AS) dan China, Yose menganggap hal itu tidak akan berdampak signifikan kepada capaian pertumbuhan ekonomi di kuartal III/2021.
Adapun, krisis dari AS yang dimaksud adalah normalisasi kebijakan moneter yaitu tapering off, sedangkan dari China yaitu krisis likuiditas perusahaan properti Evergrande. Masing-masing dari risiko eksternal tersebut bisa berdampak pada pelemahan rupiah atau kinerja ekspor.
“Kalau kuartal III, ini dampak dari eksternal tidak terlalu ada pengaruhnya. Belum kelihatan. Harga komoditas, yang memang sudah mulai turun sekarang ini, tapi kan lebih ke antisipasi. Penurunannya belum terlalu kelihatan,” jelas Yose.
Sementara Kepala Ekonom BCA David Sumual mengaku bahwa mendekati akhir kuartal III/2021 pada September ini, prediksi pertumbuhan PDB Indonesia semakin membaik. Awalnya, David memprediksi bahwa ekonomi kuartal III/2021 hanya akan menyentuh 3-3,5 persen (yoy).
“Ya kelihatannya pertumbuhan ini akan sedikit lebih dari ekspektasi ya. Tadinya kebanyakan ekonom merevisi pertumbuhan di kuartal III ini ke arah 3-3,5 persen,” kata David kepada Bisnis, Kamis (23/9/2021).
Menurut David, perkembangan itu tidak lepas dari dua hal yaitu belanja masyarakat yang lebih baik dari PSBB di 2020, dan kinerja ekspor.
Di sisi belanja, dia menilai masyarakat kini sudah lebih terbiasa dengan moda belanja daring (online), terutama untuk kebutuhan pokok. Meskipun ada pembatasan, masyarakat sudah bisa menyesuaikan diri untuk melakukan belanja.
Lalu, kinerja ekspor yang ditunjukkan dengan tren surplus neraca dagang hingga Agustus 2021 juga ikut mendorong pertumbuhan PDB di kala pengetatan PPKM. “September ini juga sepertinya berlanjut karena pengaruh ekspor komoditas di beberapa komoditas utama nilai ekspornya melonjak, [seperti] CPO, batu bara, besi dan baja, mineral. Ini kenaikan cukup tinggi,” tambahnya.
“Itu kelihatannya bisa memperkuat hipotesa kemungkinan [pertumbuhan] akan lebih tinggi dari ekspektasi semula yang sekitaran 3,5 persen. Mungkin bisa mengarah ke 4 persen,” terang David.
Terkait dengan risiko dari luar, David pun tidak menganggap baik tapering off dan krisis Evergrande bisa berdampak ke ekonomi Indonesia, khususnya pada kuartal III/2021.
Di sisi tapering off, David melihat belum adanya kepastian dari Federal Reserve (The Fed) terkait dengan kapan akan melakukan tapering. Apalagi, terjadi kenaikan kasus Covid-19 di AS. Adapun, dampak yang dirasakan Tanah Air nantinya tidak akan signifikan, mengingat cadangan devisa Indonesia yang tinggi serta kepemilikan asing di pasar SBN yang rendah.
Sementara pada krisis Evergrande, dampak kepada Indonesia juga diperkirakan tidak akan signifikan. Pasalnya, David menilai pemerintah China turut mencegah adanya efek rambatan dengan melokalisasi risiko dari krisis perusahaan real estat tersebut.
“Untuk Evergrande itu belum berpengaruh secara signifikan ke pasar finansial kita. Rupiah masih tetap stabil, pengaruhnya ke ekspor juga minim. Yang paling penting kan apakah ini bisa menganggu financial market, namun sejauh ini masih cukup baik ya,” pungkasnya.
.
. :
.
Beritamu.co.id . Follow sosial media kami
.
sumber : https://ekonomi.bisnis.com/read/20210924/9/1446430/menakar-pertumbuhan-ekonomi-kuartal-iii2021-di-tengah-ancaman-eksternal
Beritamu.co.id - Pada rangkaian peringatan 47 Tahun Diaktifkannya Kembali Pasar Modal Indonesia, PT Bursa…
Beritamu.co.id - PT Sinar Eka Selaras Tbk (IDX: ERAL) menyampaikan Laporan Informasi atau Fakta…
Beritamu.co.id - PT Graha Layar Prima Tbk. (IDX: BLTZ) menyampaikan Laporan Informasi atau Fakta…
Beritamu.co.id - Untuk mendukung sasaran visi Indonesia Emas 2045 dan mewujudkan Astacita Pemerintah Republik…
Beritamu.co.id - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada penutupan perdagangan sore ini, Selasa (26/11/2024) berakhir…
Beritamu.co.id - PEFINDO menegaskan peringkat idAAA(cg) untuk rencana penerbitan obligasi berkelanjutan II PT Hartadinata…